Syubhat Penghalang Berhijab: Iman itu Letaknya di Hati
Jika
salah seorang di antara mereka ditanya, mengapa dia tidak berhijab? Maka ukhti
yang terhormat ini akan menjawab, “Ah, iman itu letaknya di hati”
Jika salah seorang di antara mereka ditanya, mengapa
dia tidak berhijab? Maka ukhti yang terhormat ini akan menjawab,
“Ah, iman itu letaknya di hati.”
Ini adalah jawaban yang paling sering
dilontarkan oleh para wanita muslimah yang belum berhijab. Karena itu, di bawah
ini akan kita bahas syubhat (kerancuan) perkataan tersebut.
Sumber Syubhat
Mereka berusaha menafsirkan sebagian hadits,
tetapi tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Seperti dalam sabda Nabi,
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ
أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak
melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu, tetapi Dia melihat
pada hati dan amalmu sekalian.” (HR.
Muslim No.2564 dari sahabat Abu Hurairah).
Tampaklah bahwa mereka menggugurkan makna
semestinya yaitu kebenaran yang dibelokkan kepada kebatilan. Memang benar, iman
letaknya di dalam hati, tetapi iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja.
Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ hendak menjelaskan
makna keikhlasan, yakni diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan. Allah ﷻ tidak melihat pada
bentuk lahiriah, seperti pura-pura khusyu’ dalam shalat dan sebagainya. Akan
tetapi Allah ﷻ melihat hati dan keikhlasan niat, apakah
untuk Allah saja atau juga untuk selain-Nya? Dia tidak menerima suatu amal
perbuatan kecuali yang ikhlas untuk-Nya semata.
Rasulullah ﷺ bersabda,
التَّقوَى هَاهُنَا – وَيُشيرُ إِلَى صَدرِهِ
“Takwa itu ada di sini”,
seraya menunjuk ke arah dadanya. (HR.
Muslim No.2564 dari sahabat Abu Hurairah).
Pengarang kitab Nuzhatul Muttaqin berkata, “Hadits ini menunjukkan
bahwa pahala amal tergantung pada keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian
terhadap situasi hati, pelempangan tujuan, dan kebersihan hati dari segala sifat
tercela yang dimurkai Allah.” (Nuzhatul Muttaqin1/25).
Definisi Iman
Iman tidak cukup hanya di dalam hati, karena
iman dalam hati semata tidak cukup untuk menyelamatkan kita dari neraka dan
mendapatkan surga.
Definisi iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah
wal Jama’ah adalah:
“Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan
dan pelaksanaan dengan anggota badan.” Definisi ini terdapat dalam setiap buku
akidah (tauhid), kecuali buku-buku yang menyimpang dan tidak berdasarkan manhaj (metode) Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Kesempurnaan Iman
Dalam gambaran kita, orang yang mengatakan iman
dengan lidahnya, tetapi tidak disertai dengan keyakinan hatinya, itu adalah
keadaan orang-orang munafik. Demikian pula orang yang beramal hanya sebatas
aktivitas anggota tubuh, tetapi tidak disertai keyakinan hati, juga merupakan
keadaan orang-orang munafik.
Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ada orang-orang yang senantiasa shalat bersama beliau,
berperang, mengeluarkan nafkah, dan pulang pergi bersama kaum muslimin. Akan
tetapi, hati mereka tidak pernah beriman kepada agama Allah. Kemudian Allah ﷻmenghukumi
mereka sebagai orang-orang munafik, dan balasannya adalah berada di kerak
neraka (dasar neraka).
Demikian pula orang yang beriman hanya dalam
hati, tetapi tidak disertai dengan amalan anggota badan, hal tersebut sama
dengan keadaan iblis. Iblis percaya kepada kekuasaan Allah, Dzat yang
menghidupkan dan mematikan. Iblis pun meminta penangguhan kematiannya, serta
juga percaya terhadap adanya hari kiamat. Akan tetapi dia tidak beramal dengan
anggota tubuhnya. Allah ﷻ berfirman,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ
فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
Malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam.’ Maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34).
Dalam Al-Quran, setiap kali disebutkan kata
iman, selalu disertai dengan amal. Seperti,
“Orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh…”
Amal selalu beriringan dan merupakan
konsekuensi iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Kepada ukhti yang belum berhijab dengan alasan “Iman itu letaknya dalam hati”
Kami hendak bertanya, andaikata ada seorang
kepala sekolah memintamu membuat laporan, atau mengawasi murid-murid, atau
memberi pelajaran ekstra kurikuler, atau menjadi petugas piket untuk
menggantikan guru yang berhalangan hadir, atau pekerjaan lain…
Logiskah jika ukhti menjawab, “Dalam hati, aku
percaya dan mantap terhadap apa yang diminta oleh kepala sekolah kepadaku. Akan
tetapi, aku tidak mau melaksanakan perintahnya.”
Apakah jawaban ini dapat diterima? Lalu apa
akibat dari jawaban ini?
Ini sekadar contoh dalam kehidupan manusia.
Bagaimana jika urusan itu berhubungan dengan Allah, Tuhannya manusia yang
memiliki sifat Yang Maha Tinggi?
————————————-
Diketik ulang oleh Tim Muslimah.Or.Id dengan
sedikit penyesuaian bahasa, dari buku “Saudariku,
Apa yang Menghalangimu Berhijab?” karya Abdul Hamid
Al-Bilaly.
Artikel muslimah.or.id